Hakekat
kaya
(oleh
:Abu Usamah Yahya Al Lijaziy)
Sebuah
jawaban yang manusiawi jika seorang ditanya tentang arti kaya mereka akan
menjawab orang yang memiliki banyak harta. Namun itu jawaban sepintas yang
memang terlontar disebabkan penilaian secara dzohir (fisik). Seperti contoh
yang terjadi pada Sahabat Abu Dzar Al Ghiffari t ketika di tanya oleh Rasulullah r tentang
siapa orang kaya dalam riwayat berikut :
عن أبي ذر قال
: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ( يا أبا ذر أترى كثرة المال هو الغنى ) ؟
قلت : نعم يا رسول الله قال : ( فترى قلة المال هو الفقر ) ؟ قلت : نعم يا رسول
الله قال : ( إنما الغنى غنى القلب والفقر فقر القلب )
“Dari Abu Dzar Al
Ghiffari t berkata:
Rasulullah r bersabda
:”Wahai Abu Dzar, apa kamu memandang orang yang banyak harta itu adalah orang
kaya?,Aku berkata : Benar ya Rasulullah, Lalu Rasulullah r
bersabda :”Apa kamu memandang orang yang sedikit harta itu orang yang
faqir?,Aku berkata :”Benar Ya Rasulullah. Kemudian Rasulullah r
bersabda :”Sesungguhnya kaya itu adalah kaya hati dan faqir itu adalah
kefaqiran hati.”[1]
Jadi yang kita
pahami dari jawaban Rasulullah r itu adalah
hakekat dari kaya yang bukan dinilai dari tampak secara dzohir dari
segenap hartanya yang melimpah, tapi sebenarnya hakekat kaya itu adalah
kekayaan hati yaitu merasa qona’ah (cukup) dengan rizki yang Allah I
karuniakan padanya, merasa puas dan selalu ridha atas ketentuan Allah I.
Hal ini juga di tegaskan dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan abu Hurairah t
, bahwa Rasulullah r bersabda :
لَيْسَ
الغِنَى عَن كَثرَةِ العَرَض ، وَلكِنَّ الغِنَى غِنَى النَّفْس
“Bukanlah kaya itu diukur dari
banyaknya harta, tapi kaya itu adalah kaya hati (hatinya merasa cukup dengan
rizki yang ada)”[2]
Inilah hakekat kaya
yang sesungguhnya yaitu bukan dengan banyaknya harta. Karena begitu banyak
orang diberi keluasan rizki berupa harta oleh Allah I
namun ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang diberi. Orang semacam ini
selalu berusaha keras untuk menambah dan terus menambah harta. Bahkan terkadang
iapun tidak peduli dari manakah harta tersebut di peroleh. Maka inilah
sebenarnya maksud dari Sabda Rasulullah r tentang
kefakiran hati, orang seperti inilah yang seakan-akan begitu fakir dengan usaha
kerasnya untuk terus menerus memuaskan dirinya dengan harta yang menuntutnya
untuk terus mencarinya, tamak (rakus) dan tidak pernah letih untuk terus menambah
hartanya. Sehingga tidak heran jika orang semacam ini selalu merasa kurang dan
kurang, maka inilah orang fakir yang
sebenarnya. Maka hendaknya kita selalu meminta kepada Allah I
kekayaan hati, seperti dalam Hadits Abu Sa’id Al Khudri t
mengatakan bahwa Rasulullah r bersabda :
وَ مَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفهُ الله,
وَ مَنْ يَسْتَغْنِي يُغْنِيْهِ الله
Siapa
yang meminta iffah(penjagaan kehormatan), Allah akan menjaga kehormatannya. Dan
siapa yang meminta kekayaan (jiwa), Allah akan mengayakan (jiwanya).
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin ?
menjelaskan maka sabda Rasulullah وَ مَنْ يَسْتَغْنِي يُغْنِيْهِ الله /
Dan siapa yang memohon kekayaan (jiwa), Allah akan mengayakan(jiwa)nya:
“Yaitu : siapa yang merasa cukup dengan apa yang ada di sisi Allah daripada apa
yang ada di tangan-tangan manusia, maka Allah berikan kekayaan padanya. Adapun
yang meminta-minta kepada manusia dan merasa butuh kepada apa yang ada di sisi
mereka, maka hatinya akan selalu fakir(kekurangan) –wal’iyadzubillah-
dan tidak akan merasa cukup. Dan hakekat kaya itu adalah kaya hati. Jika
seseorang meminta kecukupan dengan apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang
dimiliki manusia, Allah pasti mencukupinya dan Dia menjadikan jiwanya mulia
yang jauh dari meminta-minta(kepada makhluk).[3]
Namun meskipun demikian
bukan berarti kaya harta itu selalu tercela, yang tercela itu mereka yang tidak
qona’ah terhadap harta yang Allah karuniakan kepadanya. Bahkan Rasulullah r
sering berdoa meminta kekayaan, seperti dalam riwayat berikut ini :
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ اللَّهُمَّ
إِنِّى أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
“Dari Abdullah dari Nabi r bahwa sesungguhnya beliau berkata Ya Allah,
sesungguhnya aku meminta kepadaMu petunjuk, ketaqwaan, kehormatan dan
kekayaan.”[4]
Imam An Nawawi ?
menjelaskan tentang makna الْعَفَافَ dalam
Hadits ini adalah menjauhkan dan menahan diri dari hal yang dilarang, dan makna
الْغِنَى adalah
hati yang selalu merasa cukup dan tidak membutuhkan dari apa yang ada pada sisi
manusia.
Kalau dia orang yang
bertaqwa insyaAllah banyak hikmah dari kekayaannya, mungkin bisa membantu
sarana da’wah, membantu saudara atau teman yang kesusahan dan sebagainya.
Seperti dalam riwayat berikut ini Rasulullah r
bersabda :
إنه لا بأس بالغنى لمن اتقى
والصحة لمن اتقى خير من الغنى وطيب النفس من النعم
“Tidak
mengapa dengan kaya bagi orang yang bertaqwa dan sehat bagi orang yang bertaqwa
lebih baik dari pada kaya, dan kebahagiaan hati itu bagian dari kaya.”[5]
Bahkan sungguh beruntung bagi mereka yang di
karuniai rizki yang cukup disertai sifat qona’ah, seperti riwayat dari Abdullah
bin amr bin ‘ash bahwa Rasulullah r bersabda
قَدْ أَفْلَحَ
مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
“Sungguh
beruntung bagi mereka yang masuk Islam dan Allah beri rizki yang cukup lalu dia
qona’ah dengan apa yang Allah berikan kepadanya.”
Yang pasti
kekayaan dan kefakiran itu suatu ujian dari Allah I,
barang siapa dengan kekayaannya dia bersyukur dan bisa menjadikannya pijakan
untuk semakin dekat kepada Allah I sungguh dia
telah beruntung di dunia dan akhiratnya insyaAllah. Dan barangsiapa yang bersabar
dengan kefakirannya dengan tetap didalam ketaatan kepada Allah I dan
tidak meminta-minta kepada manusia, mudah-mudahan dia dimasukkan kedalam
rombongan pertama yang masuk Sorga bersama Rasulullah r.
Allahul Musta’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar