Ketentuan syari’ah Di dalam Jual Beli
(Abu Usamah Yahya Al Lijaziy)
Sudah
kita maklumi bersama bahwa di dalam kehidupan ini tidak akan pernah lepas dari
muamalah jual beli dan perdagangan.Hal ini di karenakan Allah I
memerintahkan kita untuk mencari rizki dan karuniaNya di muka bumi. Seperti
dalam FirmanNya :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ فَإِذَا قُضِيَتِ
الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai
orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah
kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.apabila telah ditunaikan shalat, Maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung.”(Al Jumu’ah 9-10)
Bahkan
Allah I memuji
bagi mereka yang berdagang tetapi tidak melalaikan ibadah, seperti dalam
FirmanNya :
فِي
بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ
فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ
عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ
يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ
“Bertasbih
kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan
disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang
tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari
mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan
zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan
menjadi goncang.”(An Nur 36-37)
Dari
ayat-ayat diatas tersurat bahwa pada umumnya pencarian rizki bagi seorang
muslim adalah dengan jual beli. Yang mana juga jual beli atau berdagang adalah
pekerjaan Rasulullah r, bahkan
ada beberapa keutamaan lebih bagi mereka yang berdagang, seperti dalam riwayat
ini :
عَنْ أَبِي
سَعِيدٍ ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ :
التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ
وَالشُّهَدَاءِ
“Dari
Abu Said dari Rasulullah r bersabda: “Pedagang yang
jujur dan amanah akan bersama para Nabi dan As Shidiqin dan Syuhada.”[1]
Namun
jangan lupa, dalam Islam ada beberapa dhowabith (Pijakan-pijakan)
tentang muamalah jual beli yang harus kita pahami jika kita menginginkan hasil
muamalah jual beli dan perdagangan kita menjadi berkah di dunia dan akhirat.
Seperti Sabda Rasulullah r :
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا
لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا
وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا ».
“Kedua
penjual dan pembeli berada dalam kebaikan selama mereka tidak berpisah satu
sama lain, maka jika keduanya jujur dan saling memberi keterangan dengan jelas
semoga jual belinya di berkahi dan jika keduanya berdusta dan saling
menyembunyikan, hilanglan berkah jual beli keduanya”[2]
Dhabith
pertama : Asal
dalam muamalah itu halal dan boleh sampai ada dalil yang mengharamkan dan
melarangnya.
Firman
Allah I :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.”(Al Maidah 1)
Ayat
ini umum mengandung wajibnya menunaikan seluruh jenis akad, baik akad dalam muamalah jual beli dan
perdagangan ataupun selainnya. Ini juga menunjukkan bolehnya kita melakukan
seluruh jenis akad jual beli kecuali adanya dalil yang mengharamkannya, dan
segala bentuk larangan Allah I
telah menjelaskannya secara gamblang dalam Al Qur’an, karena ini sudah menjadi
ketetapanNya dalam FirmanNya :
وَقَدْ
فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
“Padahal
Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya
atasmu.”(Al An’am 119)
Pengecualian
larangan dalam muamalah misalkan tertera dalam Firman Allah I :
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“
Padahal Allah halalkan jual beli dan mengharamkan riba”(Al Baqarah 275)
Sisi
pendalilan dalam ayat ini bahwasannya Allah I menghalalkan segala jual beli
kecuali yang di dalamnya mengandung unsur riba.[3]
Karena
di dalam riba selain terdapat ancaman keras yang khusus dan tidak didapatkan di
selainnya,[4]
juga di dalamnya terkandung unsur kedzaliman dan memakan harta manusia dengan
cara yang bathil. Jadi apapun dari jenis jual beli yang terkandung alasan diatas
maka ia termasuk jual beli yang di haramkan.
Juga
Firman Allah I :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan saling
ridha (suka sama-suka )di antara kamu.”(An Nisa 29)
Ayat
ini menunjukkan bahwa salah satu syarat sahnya jual beli adalah saling ridha
dari keduanya, tidak ada unsur pemaksaan dan selainnya. Maka cukuplah menjadi
alasan di haramkan suatu jenis jual beli yang tidak terdapat alasan di atas.
Juga
dalam Firman Allah I :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ فَإِذَا قُضِيَتِ
الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai
orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan
shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”(Al Jumuah 9-10)
Ayat
ini menjelaskan bahwa dilarangnya jual beli jika sudah di kumandangkan adzan
jum’at dan di perintahkan untuk mencari karunianya setelah selesai sholat
jum’at. Jadi secara umum larangan ada pada jual beli yang melalaikan dari
ibadah kepada Allah I, yang
mana sudah ada contoh yang baik dari para salaf kita yang tertera dalam Firman
Allah I :
فِي
بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ
فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ رِجَالٌ
لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ
وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ
وَالْأَبْصَارُ
“Bertasbih
kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan
disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang,laki-laki yang
tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari
mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan
zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan
menjadi goncang.”(An Nuur 36-37)
Dalam
penjelasan ayat ini beberapa salaf berkata:” Mereka (para sahabat) berjual
beli, tetapi manakala salah seorang mereka mendengar suara muadzin
mengumandangkan adzan dan jangkauannya masuh terdengar oleh telinganya ia akan
meletakkan timbangannya dan bersegera menuju sholat.” Sebagaimana yang di
paparkan sebelumnya persoalan adalah apabila berjual beli menyibukkan dari
sholat maka perdagangan ini di larang dan sia-sia. Dan uang yang dihasilkannya
adalah haram dan kotor.[5]
Juga dalam
sabda Rasulullah r :
إِنَّ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ
وَالأَصْنَامِ
“Sesungguhnya
Allah I dan RasulNYa r
mengharamkan jual beli Khamer (minuman keras), bangkai, babi dan patung.”[6]
Sisi
pendalilan bahwa jual beli asalnya boleh kecuali menjual barang-barang yang
di haramkan Syari’at, sebab jika Syari’at mengharamkan sesuatu maka juga
mengharamkan harganya. Rasulullah r bersabda :
إنَّ
اللَّهَ إذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ.
“Sesungguhnya
Allah I jika
mengharamkan suatu kaum memakan sesuatu maka Allah I
mengharamkan pula harganya.”[7]
Demikianlah
Nash-nash yang telah disebutkan di atas
insyaAllah cukup sebagai dalil untuk dhabith yang pertama bahwa asal dalam jual
beli itu boleh kecuali ada dalil yang melarangnya. Untuk dhawabith berikutnya
insyaAllah akan kita bahas pada edisi mendatang. Allahua’lam bish shawab.
[1]At Tirmidzi 1209,Ad Daruquthni (Kitabul Buyu’
18), Ad Darimi (Bab At Tajir As Shoduq 2539)
[2]
Muttafaqun ‘alaih dengan lafadz Muslim 3937
[3] Secara
garis besar riba itu ada dua macam: nasi’ah dan fadhl. Riba nasi’ah ialah
pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah
penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak
jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran
emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam
ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat
Arab zaman jahiliyah.(untuk kaidah lebih rinci tentang riba membutuhkan
pembahasan tersendiri)
[4] Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Ibthalut
Tahliil”
[5]
Syeikh Sholih Fauzan fiil kitab “Albuyuu’ almanhiy ‘anha fil Islam”
[6]
Muttafaqun ‘alaih dengan lafadz Muslim no 4132 (maktabah syamila)
[7]
Sunan Abu Daud 3490, mushonnaf abi syaibah 20754 (maktabah syamila)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar